


Apa itu Tekstualisme?
Tekstualisme merupakan suatu metode penafsiran undang-undang yang menekankan pada makna harfiah kata-kata dalam suatu undang-undang, tanpa mempertimbangkan maksud pembuat undang-undang atau akibat dari penafsiran tertentu. Pendekatan penafsiran ini berfokus pada kata-kata tertulis dan tidak terlalu memperhatikan faktor-faktor ekstrinsik seperti sejarah perundang-undangan atau pertimbangan kebijakan.
Para penganut tekstual berpendapat bahwa makna suatu undang-undang dapat dilihat dari kata-kata itu sendiri, tanpa mengacu pada sumber-sumber eksternal atau alat penafsiran. Mereka percaya bahwa hukum harus diterapkan sebagaimana tertulis, dan bahwa hakim tidak boleh memaksakan pandangan atau kebijakannya sendiri terhadap hukum. Sebaliknya, mereka harus menerapkan hukum sebagaimana yang tertulis, apa pun konsekuensinya.
Tekstualisme telah dikaitkan dengan para sarjana hukum dan hakim konservatif, yang berpendapat bahwa tekstualisme memberikan peran yang lebih terbatas dan dapat diprediksi bagi hakim dalam menafsirkan undang-undang. Sebaliknya, para pengkritik tekstualisme berargumen bahwa tekstualisme dapat menimbulkan hasil yang tidak masuk akal dan melemahkan tujuan undang-undang.
Beberapa contoh tekstualisme antara lain:
1. Keputusan Mahkamah Agung dalam United States v. Lopez (1995), yang menyatakan bahwa Undang-Undang Zona Sekolah Bebas Senjata tidak konstitusional karena melampaui kewenangan Kongres berdasarkan Klausul Perdagangan. Pengadilan menafsirkan undang-undang tersebut berdasarkan bahasa literalnya, tanpa mempertimbangkan implikasi kebijakan yang lebih luas dari undang-undang tersebut.
2. Keputusan Mahkamah Agung dalam District of Columbia v. Heller (2008), yang menyatakan bahwa Amandemen Kedua melindungi hak individu untuk memiliki dan memanggul senjata. Mahkamah menafsirkan teks amandemen berdasarkan makna yang jelas, tanpa mempertimbangkan maksud pembuatnya atau akibat dari penafsiran yang berbeda.
3. Keputusan Mahkamah Agung dalam National Federation of Independent Business v. Sebelius (2012), yang menyatakan bahwa persyaratan Undang-Undang Perawatan Terjangkau yang mengharuskan pengusaha tertentu memberikan asuransi kesehatan kepada karyawannya melebihi kewenangan Kongres berdasarkan Klausul Perdagangan. Pengadilan menafsirkan undang-undang tersebut berdasarkan bahasa literalnya, tanpa mempertimbangkan implikasi kebijakan yang lebih luas dari undang-undang tersebut.
4. Keputusan Mahkamah Agung dalam Gundy v. Amerika Serikat (2019), yang menyatakan bahwa penerapan surut Undang-Undang Pendaftaran dan Pemberitahuan Pelanggar Seks terhadap pelaku kejahatan seks tertentu adalah inkonstitusional. Pengadilan menafsirkan undang-undang berdasarkan makna yang jelas, tanpa mempertimbangkan maksud Kongres atau konsekuensi dari penafsiran yang berbeda.
Singkatnya, tekstualisme adalah metode penafsiran undang-undang yang menekankan pada makna harafiah dari kata-kata dalam suatu undang-undang, tanpa mempertimbangkan arti sebenarnya dari undang-undang tersebut. maksud pembuat undang-undang atau akibat penafsiran tertentu. Hal ini telah dikaitkan dengan para sarjana hukum dan hakim konservatif, yang berpendapat bahwa hal ini memberikan peran hakim yang lebih terbatas dan dapat diprediksi dalam penafsiran undang-undang. Namun, para pengkritik tekstualisme berpendapat bahwa hal ini dapat menimbulkan hasil yang tidak masuk akal dan melemahkan tujuan undang-undang tersebut.



